Warta Bulukumba - Bendera Palestina tergantung muram—tak berkibar, tapi menggigil dalam diam. “Ini bukan konflik,” ujar Shamsi Ali, tegas, “tapi penjajahan. Jangan sampai lidah kita ikut menyesatkan sejarah.”
Dai asal Bulukumba yang kini menetap di New York itu sedang dalam lawatan pribadi ke Indonesia. Namun, lawatan itu berubah jadi mimbar perjuangan. Shamsi Ali hadir di berbagai kota, dari Makassar hingga Batam, dari Jakarta hingga Gresik. Di mana pun ia bicara, satu tema muncul berkali-kali: peran dunia Islam dalam membebaskan Palestina dari penjajahan 'Israel'.
"Kata 'konflik' membuat kita melupakan bahwa Palestina sedang dikuasai. Ini tidak seperti kedua belah pihak berada dalam posisi setara. Yang terjadi adalah hak-hak salah satu pihak ditindas," ungkap Shamsi Ali, menurut pernyataan tertulis pada 28 Mei 2025.
Perseteruan dalam Media Barat tentang Persepsi
Menurut Shamsi Ali, media internasional serta kekuatan diplomatik Barat telah membentuk persepsi dengan cara tertentu; yakni bahwa 'Israel' merupakan pihak yang menjadi korban, sementara Palestina dianggap sebagai pelaku agresif.
"Dengan menggunakan frasa tersebut, 'Israel' digambarkan seolah-olah memiliki hak untuk mempertahankan diri. Padahal mereka adalah pelaku penindasan. Ini juga merupakan pertarungan dalam penggunaan bahasa," ujarnya.
Dia menyatakan betapa vitalnya pemahaman politik bagi umat Muslim, khususnya ketika mempertimbangkan cara negara-negara kuat seperti Amerika Serikat menggunakan pengaruh global mereka untuk mencegah setiap usaha diplomasi yang berpihak pada Palestina, bahkan dengan langkah-langkah seperti gunakan hak vetonya di Majelis Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Shamsi Ali juga menyebutkan tentang dukungan keuangan AS sebesar lebih dari Rp800 triliun dalam wujud bantuan militer dan logistik kepada 'Israel'. Hal ini mengakibatkan korban jiwa melebihi 50.000 orang di Gaza.
“Dunia melihat, tapi dunia tak berbuat. Karena semua tunduk pada satu kekuatan,” katanya. “Yang bisa melawan itu adalah kita, umat Islam. Tapi kita harus cerdas dan terorganisir.”
Umat Islam jangan lagi menjadi penonton
Shamsi Ali dengan tegas mengecam keharusan yang berlebihan dari umat Islam atas harapan mereka akan sikap adil Amerika terkait masalah Palestina.
Harapan itu dianggap tidak tepat dan malahan membawa rasa malu. Amerika sebenarnya dikuasai oleh kekuatan yang terselubung. Apapun hasil pemilihan presiden, Palestina tetap bukan menjadi fokus utama.
Sebaliknya, dia mendorong umat Islam untuk ambil alih, entah itu dengan memanfaatkan kekuatan politik komunitas mereka di Barat atau memberikan tekanan bersama dari negara-negara yang sebagian besar penduduknya beragama Muslim.
Di Amerika Serikat sendiri, Shamsi Ali sangat berharap pada perkembangan gerakan masyarakat Muslim serta para pelajar, yang saat ini semakin aktif dalam menggelar unjuk rasa di universitas-universitas terkemuka seperti Harvard, MIT, sampai Columbia.
“Perubahan tidak akan datang dari Gedung Putih dulu. Tapi dari mahasiswa, pemuda, dan gerakan akar rumput. Kita sudah lihat benihnya,” katanya.
Ia menyebut bagaimana komunitas Muslim AS kini mulai menyadari pentingnya konsolidasi politik, dengan membentuk lobby, think tank, dan bahkan mulai mencalonkan diri dalam jabatan publik.
"Muslim harus berhenti hanya jadi penonton sejarah. Kita harus menulis sejarah kita sendiri," tegasnya.
Dunia Islam: Besar tapi tak bersatu
Dalam bagian paling tajam, Shamsi Ali menyentil negara-negara Islam yang hanya piawai melontarkan kutukan tanpa langkah nyata.
“Dunia Islam jago kutuk, tapi kutukan itu kosong. Kita harus bicara tentang embargo, pemboikotan, bahkan tekanan ekonomi terhadap Amerika.”
Ia menyebut investasi negara-negara Islam ke AS yang mencapai lebih dari Rp48 ribu triliun, sebagai bukti betapa besar potensi resistensi yang bisa diberikan jika dunia Islam bersatu.
“Bayangkan kalau dunia Islam bersatu dan berkata cukup. Amerika akan pikir dua kali bantu 'Israel',” katanya.
Tetapi dia tidak menyangkal bahwa realitas geopolitik dan ikatan ekonomi menyebabkan banyak negara-negara Muslim merespons dengan sikap bimbang. Mereka terlalu khawatir akan hilangnya stabilisasi, atau mungkin pengaruh mereka.
Namun jika masyarakat di tingkat dasar menggalang tekanan, perubahan tersebut dapat ditekankan dari bawah. Tidak usah menantikan para elita.
Persekutuan Bangsa Palestina dan Masa Depan Kemerdekaannya
Shamsi Ali mencatat hal-hal krusial: Palestina perlu meredam konflik internalnya terlebih dahulu.
Kesatuannya adalah keharusan absolut. Sementara mereka terus berebut tempat dan mengejek dengan sebutan 'abnaa al-kilab', bagaimana mungkin dunia dapat memberikan bantuan? Sebaiknya disebut sebagai 'abnaa as-sya'ab al-Falestini Al-Hurr'—anak-anak bangsa Palestina yang telah bebas.
Ia mengingatkan, penjajahan sering memanfaatkan perpecahan internal. Maka tugas pertama perjuangan adalah membangun kesadaran kolektif, dari dalam dan luar.
Kami membutuhkan cerita baru. Tidak sekadar tentang lahan, tetapi juga tentang martabat, hak dasar manusia, dan kehormatan sebagai insan.
Mulai dari mimbar masjid sampai layar Zoom di seluruh dunia, suara Shamsi Ali terus berkumandang: "Muslim tidak boleh bergantung sepenuhnya pada negara lain. Bangsa ini harus menjadi pengendali utama dalam catatan pertempuran untuk Palestina."
Tidak ada komentar
Posting Komentar