Gibran berbincang santai dengan Megawati dalam perayaan Hari Lahir Pancasila, namun seorang analis mengomentari bahwa hal tersebut menunjukkan adanya ketegangan dengan Jokowi.
Ketemuannya antara Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan mantan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dalam acara perayaan Ulang Tahun Ke 74 Pancasila yang digelar di Gedung Pancasila, Jakarta Pusat pada hari Senin tanggal 2 Juni 2025 memberikan berbagai kisah menarik.
Pertemuan Megawati dan Gibran ini menjadi sorotan karena jejak sejarah yang kurang mengenakan.
Lantaran Gibran merupakan eks kader PDIP, partai politik besutan Megawati, yang dipecat karena membelot maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2024 lalu ketika PDI-P punya calon sendiri.
Interaksi mereka tercatat sebagai sesi yang dipenuhi tawa dan kegembiraan.
"Betul (Gibran sedang bercakap dengan Bu Mega). Kami bermain-main dan tertawa bersama. Di ruangan itu ada saya, serta Pak Prabowo," ujar Ketua MPR Ahmad Muzani setelah acara perayaan tersebut.
Muzani menuturkan, pertemuan itu berlangsung di ruang tunggu atau holding room sebelum upacara berlangsung.
Dia menyatakan bahwa atmosfer di area menunggu memang cenderung ramai lantaran kedatangan Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden ke-6 Republik Indonesia Try Sutrisno, serta Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla.
Muzani menyebutkan bahwa saat itu Gibran duduk menghadap langsung ke arah Megawati. Di samping berbicara dan bercengkrama, Gibran pun menanyakan tentang keadaan kesehatannya kepada Megawati.
"Iya, (Mas Gibran) bertanya kepada (Ibu Mega), meminta kabar tentang kesehatan Ibu, berbagai hal," kata Muzani.
Maka, bisakah dikatakan bahwa Megawati telah membaik hubungannya dengan keluarga besar Gibran, terutama Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi)?
Bagaimana dengan hubungan Megawati-Jokowi?
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai, hubungan antara Megawati dan Gibran sebenarnya baik-baik saja.
Sebab, masalah yang muncul selama ini bukanlah antara PDI-P dengan Gibran, melainkan dengan ayahnya, yakni Jokowi.
"Terkait Mas Gibran, secara personal relasi dengan Ibu Mega baik-baik saja. Karena problem yang selama ini muncul sifatnya tak langsung, karena Gibran tak memiliki 'kuasa' saat kompetisi Pilpres 2024 berlangsung," ujar Agung kepada Kompas.com, Senin.
"Betul (permasalahannya dengan Jokowi)," kata Agung lagi.
Agung berpendapat, ikatan di antara Megawati dan Jokowi akan sulit diselesaikan.
Karena, masalah yang melibatkan Megawati dengan Jokowi jauh lebih rumit dibandingkan masalah antara Megawati dengan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Membersihkannya menjadi rumit karena lebih kompleks dibandingkan cerita dengan Pak SBY," kata Agung.
Oleh sebab itu, kata Agung, apabila terdapat instruksi PDI-P untuk bersatu atau mendekat menjadi mitra strategis pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto, hal ini tidak disebabkan keberadaan atau ketiadaan Gibran.
Namun, hal ini lebih berkaitan dengan mempertimbangkan dinamika politik serta kasus hukum yang melilit PDI-P menjelang kongres tersebut.
Pada saat yang sama, Agung memandang bahwa lelucon antara Megawati dan Gibran mencerminkan tingkat kecerdasan mereka dalam berpartisipasi dalam demokrasi, terutama karena keduanya tengah berada di sebuah acara resmi semacam perayaan hari lahirnya Pancasila.
"Diluar hal tersebut, situasi resmi tentang kedaulatan negara yang menonjol dan mencerminkan kemesraan antara para pemimpin nasional sangatlah penting karena dapat menyampaikan pesan positif kepada masyarakat bahwa elit politik mereka hidup rukun dan 'matang' dalam menjalankan demokrasi," jelasnya.
Di sisi lain, pakar politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, mengatakan bahwa pertemuan antara Gibran dan Megawati mencerminkan penurunan tensi dalam persaingan Pilpres 2024.
Menurutnya, saat ini ada potensi bahwa tensi antara Megawati dan keluarga Jokowi sudah mulai berkurang.
"Kemungkinan besar karena pemilihan umum telah berlalu hampir satu tahun atau lebih, konflik politik antara PDI-P dengan Gibran serta keluarganya tampaknya tidak serumit dulu saat pilpres," jelas Adi.
Meskipun begitu, dia merasa bahwa tampilan dekat dari pertemuan antara Megawati dan Gibran tampaknya tidak akan memecahkan masalah apa pun.
Salah satunya, hal ini tidak mengubah fakta bahwa Gibran dan keluarganya telah dipecat dan tidak lagi menjadi bagian dari PDI-P. "
Jadi akrab bercanda ya sekali lagi ini hanya sebatas bahasa politik yang muncul di permukaan yang mengesankan bahwa keduanya tidak setegang-tegang dulu gitu ya, tidak sekaku-kaku dulu," kata Adi.
Namun pada dasarnya hal ini tidak akan merubah apa pun atau menyelematkan apa pun dalam konteks seperti PDI-P yang akan memberikan pengampunan dan membuka pintu kepada Gibran serta keluarganya agar dapat kembali bergabung sebagai anggota dari famili besar PDI-P, tambahnya.
Dia juga berpendapat bahwa PDI-P dalam beberapa tahun terakhir tidak akan mempertimbangkan Gibran sebagai calon presiden di pemilihan yang akan datang.
Karena itu, menurut Adi, jalannya politik PDI-P tidak terbatas pada kemenangan atau kekalahan dalam pemilu presiden saja, melainkan tentang cara memelihara martabat partai mereka.
Maka menurut saya rasanya sangat sulit bahkan mustahil jika kita lihat tindakan politik PDIP saat ini dalam hal membuka pintu kembali bagi Gibran, apalagi mendukungnya pada Pilpres 2029. Saya merasa itu akan menjadi tantangan besar, tetapi mungkin suatu hari nanti setelah 15 atau 20 tahun ke depan, ketika para kadernya dari PDIP telah melupakan strategi yang digunakan pada 2024, mereka bisa saja memberikan pengampunan. Mungkin seperti itulah perkataan Adi. (*)
Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompas.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar