Oleh: Ahmad Faizal Adha

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung

SETIAP tahun, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia memenuhi panggilan suci untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah ini bukan hanya perjalanan fisik ke Tanah Suci, tapi juga perjalanan jiwa yang mendalam. Di antara seluruh rangkaian haji, momentum wukuf di Arafah menjadi puncak spiritual yang sarat makna.

Arafah bukan sekadar nama tempat. Ia adalah simbol perenungan dan pengakuan. Kata “Arafah” sendiri berarti ‘mengenal’—sebuah isyarat bagi setiap Muslim untuk kembali mengenali siapa dirinya dan siapa tuhannya.

Di Arafah, semua manusia berdiri sejajar, tanpa pangkat, tanpa gelar. Hanya dua helai kain ihram yang menyelimuti tubuh, seakan menandakan bahwa di hadapan Allah, kita hanyalah hamba yang lemah, bergantung penuh pada kasih dan ampunan-Nya.

Inilah saat terbaik untuk menundukkan hati, merendahkan ego, dan membenamkan segala kesombongan. Menyadari bahwa segala pencapaian, kehormatan, dan kekuatan yang kita rasa miliki sejatinya tak berarti apa-apa tanpa izin dan kuasa dari Allah. Momentum Arafah adalah panggilan untuk jujur kepada diri sendiri, mengakui kesalahan, memohon ampun, dan bertekad untuk memperbaiki hidup.

Arafah: momentum menghapus dosa dan memaafkan segalanya

Hari Arafah adalah waktu yang sangat istimewa. Rasulullah saw menyebutnya sebagai hari di mana Allah membanggakan hamba-hamba-Nya di hadapan para malaikat karena mereka datang dari segala penjuru dunia untuk berdoa dan meminta ampun.

Oleh karena itu, menjelang Arafah, hendaknya kita meluruskan niat. Niat bahwa kehadiran kita di Tanah Suci bukan untuk sekadar menyelesaikan rukun Islam, melainkan sebagai bentuk kepasrahan total kepada Allah.

Sebagai tamu-Nya, kita perlu menyiapkan hati yang lapang, jiwa yang sabar, dan pikiran yang terbuka terhadap segala kemungkinan.

Saat momentum Arafah tiba, jadikan hari itu sebagai waktu untuk berdamai: dengan diri sendiri, dengan masa lalu, dengan keluarga, dengan sesama. Lepaskan beban amarah, dendam, dan luka yang belum sempat sembuh. Maafkan siapa pun yang pernah menyakiti, dan mintalah ampun atas segala kekhilafan. Berdoalah dengan segenap kerendahan hati, sebut satu per satu orang yang pernah hadir dalam hidup, dan mohonkan kebaikan untuk mereka.

Tak ada doa yang sia-sia di Arafah. Tak ada air mata yang tak tercatat. Di tempat inilah, pintu langit terbuka lebar. Oleh karena itu, curahkan segala hajat, titipkan segala permohonan, dan yakinkan diri bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan.

Doa dan harap: haji yang mabrur, hidup yang terarah

Arafah menjadi titik balik bagi siapa pun yang ingin memulai hidup baru. Di sinilah tekad untuk bertaubat sepenuh hati bisa dilafalkan. Di sinilah harapan akan takdir yang lebih baik bisa dipanjatkan.

Memohon kepada Allah agar ditetapkan dalam iman, dijaga dari kesesatan, diberi husnulkhatimah (saat mengakhiri kehidupan), dan dijauhkan dari siksaan neraka.

Semoga seluruh rangkaian ibadah di Tanah Suci ini diterima dengan sepenuh rahmat. Semoga setiap air mata yang jatuh menjadi saksi ketulusan hati. Dan semoga setiap langkah menuju Arafah menjadi langkah yang juga mendekatkan kita pada surga.

Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya yang kembali dalam keadaan bersih dan menjadi haji yang mabrur.

Semoga seluruh rangkaian ibadah di Tanah Suci ini menjadi semata karena Allah. Jangan sampai selesai wukuf di Arafah, namun hati masih penuh kesombongan dan jauh dari makna penghambaan. Inilah saatnya kita kembali pada fitrah: rendah hati, jujur menilai diri, dan berserah total kepada ilahi. Wallaahu a’lam bishshawaab.***