.CO.ID-JAKARTA Pemerintah sudah mengeluarkan paket stimulan pajak sebesar Rp 24,4 triliun guna mencegah perlambatan pengeluaran keluarga yang diprediksi akan terjadi di semester dua tahun 2025.

Namun, menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, dampak stimulus ini pada perkembangan ekonomi cukup terkendali dan lebih bertindak sebagai penghambat dari perlambatan konsumsi dibandingkan sebagai penyebab percepatan kemajuan secara substansial.

"Besarnya stimulasi itu hanya setara dengan 0,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB), kurang besar daripada bantuan keuangan tahun sebelumnya yang bernilai Rp 40 triliun atau kira-kira 0,17% PDB," jelas Josua kepada .co.id pada hari Selasa, tanggal 3 Juni.

Dia menyebutkan bahwa walaupun stimulan ini meliputi kira-kira 39 juta penerima manfaat, jumlah bantuan yang didapat setiap orang tetap relatif kecil, yaitu hanya sekitar Rp 600.000 sampai dengan Rp 650.000 untuk periode dua bulan.

Rencana stimulan ini ditujukan untuk keluarga dengan pendapatan rendah hingga sedang, lewat program subsidi gaji, bantuan uang tunai langsung (BLT), serta dukungan beras.

Meskipun demikian, menurut Josua, jumlah yang terbatas ini memastikan bahwa pengaruh total pada konsumsi tetap rendah. "Ini bertujuan untuk menjaga daya beli supaya tetap stabil, bukannya meningkatkannya," tambahnya.

Selain itu, pembatalan program diskon listrik senilai Rp 10,9 triliun juga mempersempit ruang stimulus jangka pendek yang bersifat universal. Meskipun anggaran tersebut dialihkan ke bantuan yang lebih terarah, efek jangkauannya menjadi lebih sempit.

Insentif terkait transportasi, termasuk diskon tiket kereta api, kapal laut, jalan tol, serta pembebasan PPN dari pemerintah untuk penerbangan berbiaya rendah, diharapkan dapat meningkatkan konsumsi pada periode tertentu. Akan tetapi, menurut Josua, dampaknya hanya akan bersifat sementara dan tidak tersebar dengan rata ke seluruh wilayah.

Mengingat beberapa kendala yang ada, Josua mengestimasi bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga untuk kuartal II tahun 2025 kemungkinan akan tetap stabil di angka 4,8%. year-on-year (yoy), sama seperti kuartal I dan lebih rendah dari capaian tahun 2024 yang sebesar 5,0%.

"Ini menunjukkan bahwa stimulus diperkirakan hanya akan membatasi pelemahan lebih dalam namun bukan menjadi sumber pertumbuhan baru yang kuat," terang Josua.

Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menilai insentif yang dikucurkan pemerintah memiliki daya dorong kepada konsumsi rumah tangga yang sangat terbatas, mengingat nominalnya lebih kecil.

Selain itu, insentif tersebut belum mencapai kelompok pekerja yang paling rawan. Sebenarnya, para pekerja tidak formallah yang paling memerlukan bantuan keuangan.

"Permasalahan utama adalah coverage bantuan subsidi upah belum banyak menyentuh pekerja informal, seperti pengemudi ojek online dan pekerja outsourcing "Karena database-nya masih bergantung pada BPJS Ketenagakerjaan," ujarnya.

Bhima juga menilai momentum libur sekolah tidak cukup kuat untuk mengerek konsumsi rumah tangga maupun permintaan sektor industri. "Setelah libur sekolah, masyarakat harus dihadapkan pada belanja tahun ajaran baru," terang Bhima.

Mengingat sejumlah kendala tersebut, Bhima menduga bahwa pertumbuhan ekonomi di triwulan kedua tahun 2025 bakal mencapai antara 4,7% sampai dengan 4,8% secara year-on-year (yoy).