SEPUTAR CIBUBUR - Pernahkah Anda memperhatikan, warung‑warung Madura seakan tak mengenal jam istirahat?

Lampu neon menyala sepanjang malam, rak rokok dan mi instan selalu terisi, dan pintu kayu tipis yang disandarkan di sisi etalase terbuka 24 jam.

Fenomena ini tidak muncul begitu saja; ada jejak sejarah, strategi dagang, dan kebutuhan masyarakat yang melatarbelakanginya.

Jejak Awal: Perantauan dari Sumenep

Kisah warung Madura bermula antara awal 1990‑an hingga awal 2000‑an, ketika gelombang perantau asal Sumenep, Jawa Timur, menapaki Ibu Kota.

Saat pertama tiba di Jakarta, banyak di antara mereka berdagang peralatan bangunan berbahan kayu yang dipasok dari Kalimantan.

Sentra permukiman mereka berpusat di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Seiring usaha kayu itu maju, sanak saudara serta rekan sekampung ikut merantau.

Bentuk usaha pun meluas: dari kios material berubah menjadi toko kelontong.

Pelan‑pelan, toko‑toko ini tersebar di gang‑gang permukiman Jakarta hingga kota‑kota besar lain di Pulau Jawa.

Karena hampir seluruh pemiliknya berasal dari Madura, masyarakat pun menjuluki gerai mungil ini sebagai “Warung Madura”.

Evolusi Konsep Toko Kelontong

Sebagian besar Warung Madura menempati ruko sederhana—ukuran rata‑rata 4 x 6 meter—dengan etalase kaca berisi rokok, mi instan, minyak kayu putih, dan obat bebas.

Banyak pula yang menambahkan kulkas minuman dingin di bagian depan; beberapa bahkan memasang pompa bensin mini atau menjual bensin dalam botol.

Barang dagangan tidak selalu sama di tiap lokasi, namun pola layanannya relatif serupa: nyaris tanpa tutup.

Meski demikian, tidak semua Warung Madura benar‑benar beroperasi 24 jam; ada pemilik yang menutup beberapa jam demi alasan kesehatan atau keamanan. Kendati demikian, reputasi “tak pernah tutup” terlanjur melekat.

Mengapa Buka 24 Jam?

  1. Melayani Kebutuhan Mendesak

    Penduduk kota kerap perlu membeli sembako, pulsa listrik, atau obat ringan di luar jam operasional minimarket. Warung Madura mengisi celah itu. Mi instan, telur, galon air, hingga token listrik selalu tersedia—termasuk pada dini hari.

  2. Keunggulan Bersaing

    Minimarket waralaba kian menjamur. Untuk menandingi harga dan kenyamanan, Warung Madura memilih jurus berbeda: jam buka ekstra panjang dan harga yang sering kali sedikit di bawah pasar. Strategi ini terbukti mempertahankan pelanggan setia.

  3. Budaya Kerja Kolektif

    Warung‑warung ini umumnya dikelola keluarga atau kerabat. Sistem giliran jaga memudahkan mereka tetap buka tanpa menambah biaya tenaga kerja. Sementara satu anggota tidur, yang lain berjaga.

  4. Digitalisasi Dagang

    Agar tidak tertinggal, banyak pemilik beralih ke pencatatan penjualan digital menggunakan aplikasi seperti MPStore, menerima pembayaran QRIS, hingga memasang etalase produk di platform daring. Pendekatan ini menambah efisiensi dan menarik pelanggan muda.

Faktor Popularitas

Warung Madura laris di berbagai daerah bukan semata karena jam bukanya. Setidaknya ada empat faktor pendukung lain:

  • Kelengkapan Barang Pokok

    Dari gas elpiji ukuran tiga kilogram, sabun cuci piring, hingga kartu perdana, semua bisa dibeli sekaligus.

  • Pemasaran Kreatif

    Bensin eceran dalam botol kaca atau pompa mini di tepi jalan menjadi pemandangan ikonik dan mendatangkan margin penjualan tambahan.

  • Identitas Komunitas

    Label “Madura” berfungsi sebagai penanda asal‑usul sekaligus jaringan solidaritas. Sesama perantau saling membantu: ada yang menjadi penjaga, kemudian menabung untuk membuka warung sendiri.

  • Kedekatan Sosial

    Bagi warga sekitar, Warung Madura bukan cuma tempat belanja, tetapi juga ruang bercakap di malam hari—mirip “pos ronda” masa kini.

Gelombang persaingan dari raksasa ritel modern, penertiban kios pinggir jalan, serta isu keamanan malam hari menjadi rintangan nyata.

Namun, fleksibilitas jam buka, harga terjangkau, dan layanan personal membuat Warung Madura tetap relevan.***